Esai mengenai Pancasila | Kemanakah Engkau, Pemuda Pengguncang Dunia

“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncangkan dunia”


Sebuah kalimat penuh semangat dan retorika di atas, pasti dan sangat diketahui mayoritas masyarakat Indonesia. Ya, kalimat tersebut dikatakan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga sebagai Bapak Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno. Bukan tanpa alasan Bung Karno mengatakan itu, kalimat penuh makna yang membara ini merupakan isyarat bahwa dalam sebuah negara, pemudalah sebagai motor penggerak dan penentu kemanakah negara kita akan dinahkodai? Bagaimana kelangsungan negara kita tercinta serta akan menjadi apa Indonesia itu.

Badan bentukan Jepang yaitu Dokuritsu Junbi Cosakai atau lebih dikenal Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), saat itu sedang melaksanakan sidang pertama yang digelar pada 29 Juni 1945 hingga 1 Juni 1945 dengan agenda pemaparan gagasan rumusan dasar negara untuk Indonesia merdeka. Ada tiga tokoh yang dikenal sebagai perumus dasar negara Indonesia yaitu, Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Di tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengenalkan lima gagasannya yang hingga saat ini dikenal sebagai Pancasila. Melalui kebersamaan, menghargai perbedaan pendapat, mengutamakan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, serta musyawarah untuk mufakat, para tokoh bangsa dalam Panitia Sembilan saat itu berhasil merumuskan Piagam Jakarta.

Jalan dan proses yang dilalui dalam pembentukan Pancasila tidaklah mudah, serta banyak berhadapan dengan tantangan dan penghalang. Tantangan pertama yang menguji para tokoh bangsa ialah di saat sila pada sila pertama dasar negara yang tercantum pada Piagam Jakarta saat itu berbunyi, 'Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja' menuai beragam perselisihan pendapat. Sejumlah tokoh Islam beranggapan bahwa persatuan Indonesia diraih karena umat Islam itu sendiri. Perjuangan dalam lingkup nasional ialah atas tokoh-tokoh Islam. Namun, argumen tersebut dipatahkan karena beralasan hanya dari sisi demografi yang memang umat Islam di Indonesia saat itu bahkan hingga saat ini ialah mayoritas dianut oleh penduduk Indonesia. Lebih dari itu, dari sisi historis dan geografis, Indonesia sangat beragam sehingga muncul berbagai solusi jalan keluar yang pada akhirnya ialah usulan agar dasar negara Indonesia tidak berdasarkan agama tertentu.

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa seringkali dihantam dengan konflik yang terus terjadi hingga saat ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, sila pertama Pancasila ini memang tercipta atas sensitifitas rakyat Indonesia yang berlatar belakang berbeda, baik perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Pemaknaan maksud dan tujuan Ketuhanan Yang Maha Esa membutuhkan kebijaksaan dan ketulusan dari setiap individu masyarakat Indonesia. Jangan sampai suatu perbedaan dapat menyulut perselisihan. Terlebih, sila pertama ini tidak bermaksud sedikitpun merekatkan kita dengan paksa, namun merangkul sesama dengan rasa. Jika kita melirik sedikit saja ke belakang, terjadi disfungsi sila pertama Pancasila. Pembakaran tempat ibadah, politik dengan dasar SARA, fanatik dalam beragama, serta keinginan perubahan ideologi negara dengan ideologi kekhalifahan hingga komunis, tidak habis-habisnya menguras tenaga pemerintah, yang seharusnya melayani rakyat untuk pembangunan dan perekonomian, justru dari tahun ke tahun diforsir menyelesaikan masalah-masalah kompleks ini.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan sila kedua pada Pancasila. Memaknai sila kedua ini ialah dengan mengakui persamaan derajat baik hak dan kewajiban; tidak semena-mena terhadap orang lain; memperlakukan seseorang sesuai harkat dan martabatnya; serta saling membantu, menghormati, dan menghargai. Para tokoh bangsa yakin, dibutuhkan kalimat ini sehingga rakyat dapat bahu membahu membantu dan bekerja sama sebagai seorang individu dalam suatu negara, dengan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas berbagai pulau, tidak menyurutkan semangat para pemuda angkatan 1928 untuk bersatu mewujudkan Sumpah Pemuda. Walaupun terdiri atas berbagai organisasi kedaerahan, baik Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, dan berbagai organisasi kepemudaan lainnya untuk menuntut hak mereka sebagai masyarakat dunia yang membutuhkan perdamaian dan persatuan negara. Yang mereka ingin lakukan ialah tak lain memanusiakan manusia, rakyat Indonesia.

Lantas, apakah sila kedua pada Pancasila ini telah berjalan sedemikian rupa, bermakna sesungguhnya atau sebaliknya. Pemuda 'generasi jaman now' cenderung menilai sesuatu sekilas bahkan hanya melirik status sosialnya saja. Mengakukan diri, membangga-banggakan latar belakang, status sosial, hingga status ekonomi, sehingga berbuat semena-mena terhadap orang lain. Sama sekali tidak menunjukkan sebagai manusia yang beradab. Bahkan parahnya lagi, generasi jaman now cenderung menuntut hak mereka, namun tidak melaksanakan kewajibannya. Sungguh miris dan menyedihkan sekali.

Sila ketiga Pancasila berbunyi Persatuan Indonesia. Pada sila ini, memiliki hubungan dengan perilaku kita sebagai rakyat Indonesia untuk bersatu dan bekerja sama untuk membangun Indonesia. Sila ini mengandung makna dibutuhkannya jiwa nasionalisme serta kebulatan tekad membangun bangsa. Rakyat Indonesia harus menjunjung tingga persatuan dan kesatuan, bukan lagi sekedar bangga dan cinta Indonesia, namun hingga rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, makna Persatuan Indonesia ialah tak lain membina diri kita untuk mengutamakan kepentingan bersama hingga kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Salah satu peristiwa yang 'menggoda' persatuan kita ialah di saat masa-masa Orde Lama, di mana di era tersebut lahir ideologi komunis yang mulai mengakar di masyarakat Indonesia. Melalui propaganda-propaganda dan cara-cara mereka yang licik yaitu pada Partai Komunis Indonesia atau lebih dikenal PKI, mereka berhasil menghasut sedikit demi sedikit rakyat kita. Saat itu, tepatnya pada 30 September 1965 situasi Indonesia sedang tak menentu. Enam jenderal dan satu perwira TNI AD disiksa secara beringas oleh PKI. Sayangnya, berbagai langkah PKI yang menginginkan Indonesia menjadi negara komunis, gagal total. Di sinilah menunjukkan Kesaktian Pancasila. Sehingga, pada 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Semua ini berkat hasil jerih payah pemerintah dan masyarakat pada saat itu untuk tetap bersatu, Indonesia dengan dasar negara Pancasila.

Pada sila keempat Pancasila yang berbunyi, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengandung makna diperlukannya musyawarah untuk mufakat, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam pemerintah Indonesia, dapat kita lihat yaitu lembaga-lembaga perwakilan yang diisi oleh masyarakat, berjuang juga demi masyarakat, untuk kepentingan bersama. Penerapan Pancasila pada sila keempat dapat berupa mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengatasi permasalahan; menghargai hasil musyawarah, walaupun tidak sesuai dengan keinginan kita, harus berlapang dada; mensukseskan pemilihan umum demi meramaikan pesta demokrasi; tidak memaksakan kehendak serta menghormati dan menghargai pendapat pihak lain.
Memang tidak mudah, banyak godaan dan tantangan pada masyarakat itu sendiri. Ada banyak permasalahan terutama dalam hal politik yang mencederai sila keempat Pancasila, seperti contohnya para wakil rakyat yang durhaka, terutama mereka yang mengemis suara kepada para pemuda yang merupakan pemilih muda. Sungguh menjijikkan melihat mereka bersantai riya, perutnya menjadi kenyang hingga buncit, dompet mereka tebal hingga menyimpan harta kekayaan dimana mana, ternyata mereka lupa akan janjinya, mereka telah melupakan tanggung jawab dan kewajibannya. Sungguh mengenaskan, terlebih bagi wakil rakyat dan para pejabat yang melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), telah merugikan negara bahkan masyarakat yang berharap sepiring nasi kepadanya. Miris

Beralih ke sila selanjutnya, sila kelima Pancasila. Sila terakhir ini berbunyi, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mengandung makna dibutuhkannya keadilan bagi masyarakat Indonesia, bertujuan agar terciptanya kehidupan yang adil dan makmur, baik secara lahir maupun batin. Bukan tanpa alasan, hadirnya sila ini bertujuan agar setiap masyarakat menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan gotong royong. Tak hanya itu saja, sila terakhir ini mengandung makna agar kita tidak melakukan sesuatu hal yang merugikan pihak lain yang dapat menginjak hak mereka dan melukai kewajiban kita yang seharusnya untuk bersama-sama merasakan keadilan. Peduli terhadap sesama, menolong tanpa pamrih serta rajin berbuat baik ialah perbuatan yang turut serta dalam mewujudkan kemajuan dan keadilan sosial pada masyarakat.

Fakta di lapangan memperlihatkan kepada kita, bahwa sesungguhnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya dijalani. Ketimpangan dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Bahkan, Lembaga Oxfam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Tidak melulu mengenai ekonomi, ketidakadilan dalam penegakan hukum masih menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Indonesia. Dikatakan bahwa, hingga saat ini hukum masih tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Berbagai peristiwa semisal, seorang nenek asal Banyumas yang mencuri kakao di penjara atas keawamannya, selain itu seorang wanita renta asal Situbondo juga di proses hukum akibat memotong pohon di tanah yang seingat dimilikinya, namun ternyata telah menjadi tanah Perhutani. Proses hukum yang berbelit-belit serta ketidaktahuan mereka akan hukum berbanding terbalik dengan para koruptor yang isi otaknya cemerlang dan cerdas, malah mencari akal balik mengelabuhi penegak hukum, bahkan berani membayarnya.

Ketidakadilan hukum demi kekuasaan politik mengalami perubahan metode baru yang baru-baru saja terjadi. Hadirnya media sosial membuat masyarakat dimudahkan untuk akses berbagi informasi dan saling berkomunikasi. Kasus dugaan penistaan mantan Gubernur DKI Jakarta misalnya, berawal dari video yang diedit oleh seseorang, lalu saling berbagi, sehingga menyulut amarah netizen yang melihatnya. Kasus ini bahkan menjadi luar biasa besarnya, intervensi dan dorongan massa yang berdemo hingga berjilid-jilid, diinisiasi oleh aktor politik berjubah agama, menjadi dalang menjatuhkan lawan politiknya dalam kontes Pilgub DKI Jakarta saat itu. Maklum, Ahok lebih akrab di sapa, seorang WNI dengan dua jenis minoritas. Ya, dia seorang Cina (Tionghoa) dan penganut Kristen. Dua hal yang sensitif di NKRI.

Pada tulisan ini, penulis ingin menyampaikan berita dukanya kepada semua pembaca, bahwa wibawa Pancasila sudah semakin luntur. Perjuangan yang dilakukan para pahlawan bangsa telah cukup besar terutama saat membentuk dan menyelamatkan dasar negara kita, Pancasila. Benar kata Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Perseteruan, perselisihan, dan konflik baik di dalam diri kita sendiri dan di masyarakat masih terus mewabah. Pemuda sebagai motor penggerak pembangunan seakan tak terlihat dimana batang hidungnya. 'Generasi Menunduk' adalah salah satu sebutan yang pantas mendeskripsikan pemuda saat ini. Menunduk diartikan sebagai pemuda yang terlalu fokus memanfaatkan gadget, terutama untuk sarana hiburan secara berlebih. Gadget, media sosial, dan sejenisnya telah mengikat para pemuda untuk mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat. Harusnya Pancasila mampu memfilter hal ini.
Dengan jelas telah dijelaskan satu persatu sila pada Pancasila serta penerapannya. Tampaknya, Pancasila dan penerapannya semakin diacuhkan. Hadirnya media sosial membuat perjuangan para pemuda berpindah media, dari dunia nyata ke dunia maya. Saling mengomentari, berkata pedas, menghujat, mengkritik tanpa solusi, berita hoax, dan ujaran kebencian semakin mewabah. Sehingga penulis mengajak agar pembaca dan orang orang di luar sana melaksanakan #gantipolapikir. Tuhan telah mengaruniakan otak yang cerdas, badan yang sehan, jiwa yang kuat, serta hati yang bersih, lalu manusia yang merusak segalanya! Maka dari itu #gantipolapikir.

Campur tangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan tidak serta merta hanya merupakan perjuangan golongan tua dan golongan Islam saja. Peran golongan muda serta golongan berbagai rakyat Indonesia berlatar agama dan suku apapun bekerjasama menyongsong persatuan demi kemerdekaan Indonesia.

Kemanakah engkau pemuda pengguncang dunia? Apa kah masih ada sisa sisa pemuda yang berjiwa seperti Soekarno, cerdas bagai Bung Hatta, kuat seperti P.B Soedirman, tangguh layaknya Bung Tomo, kritis seperti Soe Hoek Gie. Apakah engkau sedang tertidur pulas atau berpura pura diam dan menutup mata?  Ya, diam itu emas, namun saat ini rakyat membutuhkanmu, pemuda hebat dan bijak bagi bangsa dan negara. Bangunlah dari tidurmu, bakar kembali semangat rakyat rakyat yang perutnya kosong, dompetnya tipis, dan mereka mereka yang terbaring lemah tak berdaya. Selamatkan Pancasila, selamatkan Indonesia.

Jember, 21 September 2018

Ttd
SHOFI MUNAWWIR EFFENDI

Keterbatasan membuat esai tanpa laptop hingga tengah malam Jumat - Sabtu 21 - 22 September 2018 tidak mengurangi niat dan kesungguhan saya menyajikan argumen mengenai pemuda jaman now yang semakin hilang jati dirinya. Karena saya bingung, masyarakat juga bingung. Sehingga membuat saya bertanya, Kemanakah Engkau, Pemuda Pengguncang Dunia. Ya, seperti apa yang dikatakan Soekarno. Siapakah kau? Muncul lah, kami membutuhkanmu!

Komentar