Bersahabat dengan Sisi Gelapku [1] : Sebuah Pendahuluan


Lelah
Satu kata yang menggambarkan bagaimana hidupku dari tahun ke tahun sejak kecil hingga saat ini. Dilahirkan dari keluarga yang biasa-biasa saja, ditambah latar belakang suku dan agama orang tua, ditambah lagi lingkungan tempat tinggal yang bisa di bilang absurd, cukup membuat gila isi kepalaku.

Sejak kecil, aku merasa seperti berbeda dari orang lain kebanyakan, terutama anak seusiaku. Dimulai dari kebiasaan, tingkah laku, hingga pemikiran yang kontradiktif. Entah malaikat atau setan yang merasuki diriku sejak kecil. Aku merasa, aku lah orang besar, aku lah orang hebat, aku lah orang yang berkuasa. Seakan-akan, aku adalah seorang yang lahir dari keluarga ningrat atau pejabat tinggi di masa sekarang.

Sejak kecil, tanpa aku sadari dulu, aku adalah anak yang cenderung memiliki dunianya sendiri. Aku tidak begitu menyukai suatu hal yang sedang tren atau banyak dilakukan oleh orang-orang. Aku punya jalanku sendiri. Aku merasa berbeda, sampai-sampai terkucilkan dari lingkungan pergaulan. Aku merasa memiliki kepribadian yang terkadang terasa berbeda pada diriku sendiri. Apakah itu kepribadian ganda? Aku harap tidak.

Buku adalah teman hidupku. Menjadi suatu kebiasaan, jika keluar kota atau kemanapun, aku pasti dan selalu membawa pulang buku baru ke kota kelahiran, Situbondo. Bersama buku aku hidup. Bersama buku aku menjadi tidak sendiri. Bersama bukulah pikiranku selangkah lebih maju dari teman-teman.

Secara umum, sebagai pendahuluan dari kisah yang panjang dan takkan pernah usai ini, sekali lagi, kata 'lelah' adalah gambaran hidupku. Tanpa berniat membuka masa lalu atau bahkan melemparkan kesalahan pada mereka-mereka yang melukaiku, pada tulisan-tulisan inilah aku berbicara. Selama bertahun-tahun lamanya aku sulit terbuka dan mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Perasaan hancur, suka, duka, dan berbagai cerita lainnya tak pernah ku sampaikan pada orang lain.

Aku ingin berbicara, tapi tidak kepada manusia. Itu karena aku terlanjur lara kepada manusia. Manusia adalah tempat terbaik memupuk kekecewaan. Lalu, melalui media manakah aku harus berbicara? Instagram? Twitter? Medsos lainnya? Aku rasa tidak. Sudah cukup diriku dicerca dan dihina, dianggap pencitraan dan dramatis. 

Jadi, aku harus berbicara ke siapa, dimana, dan bagaimana?

Aku rasa, di sinilah.
Jarang kok orang yang sudi membuka blog ku ini.
Jadi, tak masalah.

Komentar